Bagian 5
Finally it came…
Namanya Fitri. Aku biasa memanggilnya Bu Fitri. Kadang terbawa oleh orang-orang kantor, Mbak Fitri. Di antara orang-orang Apasaf, dialah yang paling banyak ngoborol denganku. Bukan dari intensitasnya, tapi kalau sudah ngobrol, aku merasa lebih dekat saja dibanding dengan orang-orang kantor lainnya. Mungkin karena faktor keluarga. Ia punya adik seumuran denganku, kisahnya suatu pagi. Jarak usianya tentu jauh dengan Bu Fitri. Semasa kecil sang adik sudah ditinggal oleh kedua orang tua. Jadilah para kakak, termasuk Bu Fitri, benar-benar berusaha menjadi orang tua yang baik. Mungkin dalam diriku terbayangkan adiknya… Dan tidak lepas dari kebaikan Ibu Fitri-lah, akhirnya aku mengalami apa yang aku inginkan selama ini: ikut dalam diskusi para diplomat dan para ahli yang diundang.
Selasa itu aku datang tidak terlalu pagi. Bu Ratna, sekretaris Ibu Estella, sang Kepala Pusat Aspasaf, memberitahuku segera. Bu Fitri mengajak aku ikut diskusi, di ruang rapat, lantai dua. Sekarang saja, mungkin bisa bantu-bantu di sana. ”Baik Bu.” Entah seberapa membaranya semangatku kala itu. Aku langsung menuju lantai dua dari lantai tiga tempat Aspasaf berkantor. Di sana sudah ada Bu Fitri, Pak Eko (Kepala Sub Bagian Timur Tengah), Pak Nyoto (salah seorang staf Pak Eko seperti juga Bu Fitri), dan beberapa staf lainnya. Satu dari tiga pembicara telah datang, namanya Pak Broto. Ia dari Universitas Indonesia (UI), jurusannya sama denganku, Hubungan Internasional, baru saja menamatkan S2-nya di Israel. Wow! Diskusi kali ini memang mengambil tema tentang konflik internal Palestina. Maka, bagiku yang sangat suka dengan prestasi orang-orang, S2 di negeri penjajah yang tidak mudah dimasuki itu menjadi sebuah pencapaian yang luar biasa. Dan ia berhasil menyelesaikannya, … hidup-hidup!.
Waktu-waktu berikutnya orang-orang mulai berdatangan. Yang paling aku suka, ternyata (hampir) semua pejabat di BPPK hadir. Ibu Arta, sang kepala badan, malah yang membuka diskusi itu. Tentu saja, yang menjadi perhatianku adalah Ibu Estella. Entah mengapa, aku sangat tertarik padanya. Tertarik secara personal? Mungkin saja, yang jelas dia belum terlalu tua, tapi sudah bisa menjadi seorang direktur. Seorang eselon dua. Dalam pandanganku, seorang yang berpangkat eselon dua pastilah seorang pejabat tinggi. Dan hari itu dia berperan sebagai moderator. Bukan sombong, tapi aku sangat ingin mengetahui seberapa kritis dan cerdas dia. Di forum diskusi inilah aku bisa melihatnya…meski belum bisa menggambarkan keseluruhan tentu saja. Dalam bayanganku, dia begitu cerdas dan gemilang… Maka keinginanku itu sebenarnya hanyalah salah satu bentuk konfirmasi atas pendapatku itu.
Aku tidak menyangka, meski nampaknya sedikit disesalkan karena ternyata ketiga pembicara juga sama-sama menjadi pengajar di UI, ketiga pembicara itu benar-benar para pakar di bidang Timur Tengah, terutama Palestina. Salah satunya Pak Lutfi, dia sering berperjalanan ke kawasan tersebut, bahkan pada tahun 1991 pernah masuk ke Tel Aviv, ibu kota Israel. Yang lainnya lagi, Pak Hamdan, dia harus menolak undangan seseorang dari kementerian luar negeri Amerika Serikat yang jauh-jauh datang dari negerinya untuk mengobrol tentang pandangannya terhadap Palestina dan memilih datang ke acara diskusi BPPK itu. Tentu saja karena sudah terjadwalkan terlebih dahulu.
Dan kehebatan-kehebatan mereka pun nampak. Baik dari materi yang disampaikan hingga forum tanya-jawab berlangsung, apa yang mereka sampaikan sangat menyentuh pada inti dari permasalahan yang dimaksud. Mereka dapat menemukan detil yang menjadi simpul dari rangkaian masalah panjang di Palestina. Dan pertanyaan-pertanyaan dari para diplomat yang hadir sudah bisa aku tebak; Mereka cenderung mempertanyakan masalah-masalah praktis ketimbang teoritis. Tentu saja, dan itu wajar, karena memang itulah yang diperlukan oleh para praktisi seperti diplomat. Meski begitu, beberapa pertanyaan nampak dilematis; sangat cerdas aku pikir.
Aku tidak berkutik. Aku diam, mendengarkan mereka berbicara dan berdiskusi. Aku hanya ingin memainkan peran layaknya seorang notulen. Tidak ada yang memerintahkan aku demikian, Bu Fitri sekalipun. Tapi aku mau, dan ternyata memang aku diminta mengetik apa yang telah aku catat. Sebenarnya aku boleh saja bertanya, seperti kata Bu Estella setelah acara berakhir. Tapi aku pikir tidak mungkin. Bagaimana bisa, mereka bertanya seperti kereta yang ga putus-putus. Sangat berapi-api pula. Aku berprinsip, jika aku ditawari pada saat itu juga, aku baru bertanya. Bukan berarti aku ingin diistimewakan. Pada kenyataannya, siapalah aku. Seorang mahasiswa yang ingin belajar. Itu saja. Kalau dalam istilah politik, aku hanya ingin menjaga status quo dan bertindak sesuai perintah. Tidak ada ’perintah’ bertanya? Diamlah. Hari itu aku akhiri dengan kebahagiaan dan kepuasan. Meski harus pulang lebih sore dari hari-hari sebelumnya karena ternyata yang aku catat lumayan banyak juga, akhirnya aku punya sebuah cerita yang bisa aku bagi nanti kepada kawan-kawan Jatinangor-ku.
***